Sabtu, 23 April 2011

cerita harian : haruskah seperti ini?

Fans.
1 kata yang bermakna besar bagi sosok public figure. Tanpa fans, para public figure ini tiada artinya. Tak jarang, untuk semakin menambah angka fans-nya, para artis tak jarang membuat berbagai acara semacam meet and greet atau ucapan syukur ulang tahun bersama para fans yang biasanya tergabung dalam sebuah fans club.

Bagi saya secara pribadi, menjadi seorang fans memang terkdang butuh perjuangan untuk bisa menemui artis yang diinginkan. Terlebih lagi jika sosok yang menjadi idola kita adalah sosok public figure yang padat jadwal. Bukan hal yang aneh jika melihat banyak pria berbadan atletis menjadi bodyguard untuk keamanan dan kenyamanan si artis.

Namun, saya merasa tertarik dengan para fans dari salah satu klub sepakbola di Indonesia. Tertarik disini bukan berarti saya ingin menjadi seperti mereka. Namun, saya merasa ingin tahu lebih dalam, apa yang membuat mereka bisa bertindak seperti itu.

Gambaran seperti inilah yang menarik perhatian saya. Selepas pertandingan usai, biasanya para fans yang menamai diri mereka Jakmania ini turun ke jalan untuk BM alias berentiin mobil. 

Jujur, saya miris melihat keadaan seperti ini. Beberapa kali saya melihat secara langsung ketika pulang kuliah dan melintasi jalur di sepanjang jalan menuju lampu merah Slipi. Mayoritas dari mereka adalah anak-anak dengan kisaran usia sekolah dasar atau sekolah menengah pertama. 
Saya pun bertanya-tanya "apakah orang tua mereka mengijinkan?" "apakah mereka memikirkan keselamatan dari diri mereka sendiri?" Dua dari banyaknya pertanyaan di benak saya yang ingin sekali rasanya di suatu kesempatan saya bisa mewawancarai mereka yang bangga dengan aksi turun jalan menggunakan kostum oranye ini. Saya ingin tahu, apa motivasi mereka sampai rela pulang malam, teriak-teriak, dan yang paling miris adalah melakukan aksi "brentiin mobil".

Sedikit sharing..
Suatu hari, saya pulang kuliah jam 6 sore. Lalu, saya langsung naik bis nomor 77 arah Tangerang. Saat itu saya bersama teman saya. Di tengah jalan, tepatnya setelah menaiki jembatan Semanggi, segerombolan remaja dan anak-anak memasuki bis yang saya gunakan. Mereka dengan gerakan "gak nyantai" masuk ke bis dan saling berteriak memperingatkan anggota lain untuk masuk juga. Saat itu yang ada dalam benak saya hanyalah jangan sampai mereka melakukan tindakan anarkis seperti memalak. Saya dan teman saya hanya diam. Saya peluk tas ransel dan tas laptop saya dengan erat. Handphone pun saya taroh di saku celana dan saya tutupi dengan sapu tangan. Pandangan saya alihkan ke supir dan 2 orang kenek bis yang ada di pintu depan dan belakang bis kota ini. Mereka hanya diam seribu bahasa. Bahkan saya sempat mendengar slaah seorang remaja yang saya pikir dia adalah "leader" mengatakan "woi, bang! jangan jalan terus! berenti! temen-temen gue belom naik". Dalam hati saya ingin rasanya menampar pipi remaja laki-laki itu yang saya lihat usianya juga masih belia, kira-kira kelas 2 SMU.

Tanpa pikir panjang, pak supir pun melaju dengan kencang dan memasuki jalanan tol. Saya pun semakin tidak percaya dengan hal yang saya lihat. Mereka yang juga berkostum oranye, melompati pagar yang menjadi pembatas antara jalanan biasa dengan jalan tol. Mereka memanjat, lompat, dan dengan berani berusaha memberhentikan bis atau truk yang melintas. Apa mereka sudah kehilangan akal sehatnya? Bagaimana kalau mereka sampai celaka? Toh keluarga mereka juga kan yang pada akhirnya repot.


Hal lain yang menarik perhatian saya adalah saat itu mereka yang berada di dalam bis dan yang diluar bis saling mengejek. Padahal, mereka menggunakan warna kostum yang sama. Artinya, mereka mendukung tim yang sama. Namun, mengapa mereka saling melontarkan kata-kata kasar yang buat saya, hal itu tidak pantas diucapkan oleh anak-anak seusia mereka. 
Ada satu slogan yang beberapa kali saya dengar dan saya lihat di kaos mereka, yaitu 'Lo Asik Gue Santai. Lo Usik Gue Bantai". Wow! Apakah ini sebuah slogan yang menjadi bentuk "kegarangan"  agar orang-orang tidak sembarangan dengan mereka? 

Kembali pada pengalaman saya. Setelah melewati jalan tol dan akhirnya keluar di pintu tol keluar arah Slipi Jaya, semua Jakmania yang berada di bis yang sama dengan saya akhirnya turun. Sang pemimpin yang turun duluan mengintruksi kan teman-teman nya untuk turun juga. Mereka kemudian berteriak "makasih bang! kita bukan orang tangerang". Heemm.. baiklah. Setidaknya mereka tahu terima kasih. Yang pasti, mereka naik bis ini dengan gratis dan saya agak heran dengan si pemimpin yang mengatakan "woi! kita numpang! jangan ada yg duduk! gue juga gak duduk"

Meskipun begitu, saya tetap merasa bahwa terkadang mereka (tidak hanya Jakmania) yang menjadi fans fanatik dari tim sepakbola Indonesia perlu mendapat perhatian khusus. Saya pun sudah melihat aparat polisi yang bersiaga di sekitar lokasi pertandingan. Namun, bukan hal itu yang menjadi pokoknya. Perlu adanya perhatian khusus. 

Saya menulis seperti ini bukan berarti saya menganggap bahwa Jakmania atau fans-fans sepakbola di Indonesia itu buruk. Saya hanya ingin menyoroti mereka yang menjadi pelaku anarkis. Saat tim kalah, mereka justru semakin liar dengan aksinya. Apakah harus seperti itu?  Tidakkah mereka malu dengan kaos atau kostum yang mereka gunakan? Kalau mereka tidak ingin fans club mereka dianggap negatif, ya jangan melakukan aksi yang merugikan banyak orang dan diri sendiri. Sama seperti tawuran antar pelajar, misalnya pelajar SMU. Mereka menggunakan seragam yang ada identitas sekolahnya di lengan baju sebelah kanan. Hal ini tentu akan mebuat nama sekolah tersebut tercoreng, bukan? 


Mana yang anda suka?
fans yang bertindak anarkis dengan alasan "mereka sangat mencintai idola nya dan tidak rela kalau idolanya kalah"                                                  
atau

fans yang bisa menerima kekalahan idola nya dan memiliki korrdinasi yang baik antar anggota fans club?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar