Senin, 03 Oktober 2011

Toleran

Judul yang singkat. hanya 1 kata : TOLERAN.

Kenapa aku mengambil kata tersebut sebagai judul tulisan ini?
Jawabannya hanya 1 : aku berusaha untuk menjadi seseorang yang toleran. Meskipun rasanya aku ingin sekali mengeluarkan semua uneg-uneg di hati dan pikiran ku.

Sebuah pembicaraan kecil yang akhirnya menjadi perdebatan sengit antara aku dan Bapak.
Aku merasa hal tersebut tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Tidak ada yang perlu di debat. Aku mencoba tegas, dengan sedikit menaikkan nada bicara ku. Namun, yang terjadi justru Bapak semakin tinggi nada bicaranya. Aku hanya bisa diam. Diam karena aku tidak ingin melawan Bapak.

Begini awal ceritanya..

Malam ini (3 Oktober 2011)
Aku sedang asyik melihat-lihat info yang ada di Kaskus. Sedang asyik-asyik nya bermain komputer dan internet di kamar, tiba-tiba Bapak datang dan duduk di belakang ku. Mengajak adik ku, yang saat itu juga sedang asyik bermain laptop di tempat tidur, berbincang-bincang masalah SIM (surat ijin mengemudi).
Melihat aku asyik di depan komputer, Bapak bertanya
"Mbak (begitu panggilan akrab ku di rumah), jerawatmu kok makin banyak aja sih?"
Aku hanya menjawab dengan simple, tanpa menengok ke arah Bapak,
" Iya. Ini kan lagi dalam proses obat. Kmaren gak disuntik, Pak."
" Lho.. ntar ketergantungan obat gimana? Kalo misalnya berobat itu yang pinter sedikit Dokter kan harusnya tau gimana mesti ngasih obat, ngasih tindakan. Kamu dijadiin kelinci percobaan itu. Lagian juga, kurang olah raga sih kamu. Tidur aja kerjaannya."
Kemudian, Bapak melanjutkan omongannya dengan menceritakan berbagai hal tentang teman nya yang bekerja sebagai dokter. Cerita yang Bapak sampaikan, menurutku Bapak memandang negatif dokter jerawat yang sedang menangani ku sekarang. Meskipun akhirnya, beliau mengatakan
"Ya, bukannya Bapak negatif thinking ya.."
Tetap saja, aku merasa seperti itu. Aku benar-benar gak suka ketika Bapak menceritakan soal dokter hanya memberikan pelayanan sempurna pada mereka yang berduit. Jadi, karena aku dari golongan ekonomi menengah ke bawah, dokter memperlakukan aku seenaknya. Semua cerita Bapak,selalu ada embel-embel "kata Pak (....) sih.."

Aku kesal. Kesal ku makin memuncak dan akhirnya aku balikkan badan, lalu menatap Bapakku sambil berkata
" Trus aku mesti gimana? Pindah dokter. Trus, habis pindah, jerawat nya banyak, pindah lagi. Pindah-pindah aja terus." 
Aku ucapkan dengan nada tinggi. Nada emosi yang memang sudah aku tahan sejak Bapak menceritakan berbagai hal yang SAMA SEKALI TIDAK PENTING menurut aku.

Untuk apa menceritakan soal dokter yang hanya melayani pasien yang berduit?
Aku yang sedang dalam masa berobat ini, butuh semangat dari keluarga. Terutama Ibu dan Bapakku. Tapi, yang terjadi justru Bapak membuat ku merasa pesimis aku akan sembuh.

Mendengar aku berbicara dengan nada kesal, Bapak kembali membalasnya
" Mau sampai kapan berobat? Udah 2 bulan hasil nya gitu-gitu aja kan? Kamu pikir uangnya gak ngalir terus?" 

Lalu, masih dengan emosi, aku pun membalas
" Ini juga kan obatnya mulai dikurangin pak. Dari yang biasanya 15 hari, mulai dimundurin jadi 10 hari. Kemarin gak disuntik karena dokternya bilang pake salep bisa."

Bapak justru semakin emosi dan menceritakan pengalaman teman-temannya yang pernah berobat di rumah sakit golongan atas. Rasanya aku ingin membalas cerita itu dengan kalimat " Itu sama sekali gak nyambung, Pak! Buat apa nyeritain masalah kayak gitu? Bukannya ngasih support supaya aku optimis sembuh, malah bikin aku jadi pesimis! Kalo emang smeua dokter kayak gitu, ngapain dulu adek disuruh jadi dokter!"

Aku mencoba diam. Menocba TOLERAN. Yang menjadi lawan bicara dan debat ku sekarang adalah Bapak ku sendiri. Bapak kandung ku. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka karena melawan Bapak. Tapi, aku juga bosan diam. Diam memendam perasaan, pikiran, dan semua yang ingin aku keluarkan.

Jujur.. aku tidak suka marah. Aku tidak suka saling adu omongan yang menjatuhkan. Tapi, aku terlalu takut untuk mengeluarkan semuanya. Aku mencoba mengalah. Mengalah karena aku tidak ingin ada keributan. Aku mencoba toleran terhadap siapa yang menjadi lawan bicara ku. Mencoba menghormati Bapak. Meskipun akhirnya, aku harus memendam semua. Me-repress sedalam mungkin semua nya. Akhirnya.. Ketika aku punya waktu untuk mengeluarkan semua nya, aku hanya bisa menangis. Kata-kata berubah menjadi air mata.

**** 
Di tengah-tengah situasi yang "memanas", aku memejamkan mata. 
Memohon kekuatan padaNya. Memohon ampun jika aku salah. Sayangnya, suara adikku membuyarkan pikiran ku.
 "Olah raga lo makanya. Duit kan ngalir terus tuh buat obat lo. Ketergantungan obat lo ntar."

Astaga!!!!
Aku semakin merasa emosi dan kali ini aku ingin membalas kata-kata adikku dengan sebuah pukulan. Tangan ku rasanya gatal ingin memukul. Tapi, lagi-lagi. Aku mencoba untuk diam dan toleran terhadap sikap adikku yang kesannya mencari muka di depan Bapak.

Setelah itu, Bapak pun keluar dari kamar ku. Aku hanya diam. Aku pejamkan mata sambil berdoa. Aku ingin menangis rasanya. Tapi, aku tidak boleh menangis! Terlalu frontal. Aku tidak mau menjadi manusia cengeng!!!!

TUHAN..
Kalau memang aku yang salah, maafkan aku.
Engkau tahu siapa yang benar dan salah.
Aku hanya mohon, berikan petunjuk, agar aku tidak salah mengambil tindakan.
Berikan aku kesabaran dan kekuatan, Tuhan.
Biarlah sikap ku yang mencoba toleran ini merupakan tindakan yang benar.
AMIN