Minggu, 06 Mei 2012

Anak-anak dan Permainan

Jumat, 4 Mei 2012.
Saya berkesempatan pergi ke Bandung bersama dua orang kawan, Vindy dan Anne. Tulisan saya kali ini bukan soal rapat atau pertemuan yang kami lakukan dengan pengurus Keuskupan Bandung. Bukan juga cerita tentang perjalanan yang kami lakukan, yang dimulai sejak pukul 07.00 WIB. Tapi, tulisan ini tentang refleksi diri saya mengenai anak-anak.

Sabtu sore, kami menunggu seorang bapak yang kebetulan mengenal jelas desa yang akan kami kunjungi, yaitu Bapak Anton. Kami bertiga, diantar seorang bapak dari Keuskupan Bandung, Pak Endar,  sepakat menemui Bapak Anton di SD Santa Ursula, Bandung. Murid-murid disana kebetulan sudah banyak yang pulang. Namun, masih ada beberapa yang menunggu orang tua mereka menjemput.

Selama menunggu hampir 1 jam, Saya duduk di kursi yang ada di sebuah aula besar tempat anak-anak menunggu orang tua nya yang letaknya tepat setelah memasuki gerbang utama. 

Disana ada banyak mainan anak-anak. Mainan tradisional, tentunya. Saya pun iseng melihat semua mainan itu. Ada congklak, puzzle, lego, mainan lain yang terbuat dari kayu, dan masih banyak lagi. Senang sekali rasanya melihat semua mainan itu. Memori tentang masa kecilku pun seketika itu pula muncul.

Saya ingat betul seluruh mainan itu pernah saya mainkan sampai usia SMP. Semua permainan yang menurut saya cukup mengasah otak dan keterampilan. Permainan lapangan lainnya juga jadi hiburan tersendiri di sore hari setelah bangun tidur siang. Misalnya saja, petak umpet, petak jongkok, atau galasin. Ah, ingin rasanya saya memainkan lagi semua permainan itu saat ini, disaat saya sudah menjadi seorang mahasiswi.

Saya pun merefleksikan semua mainan yang saya lihat dan pegang dengan masa kecil saya, lalu saya ingat betapa anak-anak di jaman sekarang mungkin sudah tidak mengenal semua jenis permainan itu. Mereka lebih memilih untuk memiliki gadget canggih yang jadi altenatif pengusir rasa bosan. Bahkan, mereka mungkin sudah terbiasa untuk membawa tablet pc seperti Ipad, Galaxy Tab, dan lainnya ketika bepergian dibandingkan orang lain yang lebih tua dari usianya.

Tidak ada yang salah jika memiliki gadget canggih sebagai alternatif pengusir rasa bosan. Namun, saya rasa hal itu akan menjadi masalah ketika gaya hidup serba canggih itu sudah dilakukan sejak kanak-kanak. Saya pikir, mereka akan menjadi generasi yang cenderung manja karena orang tua yang selalu memenuhi tuntutan gadget canggih yang jadi keinginannya. 

Tak hanya itu, saya pun berpikir bahwa mereka akan cenderung jarang bersosialisasi, karena merasa tanpa orang lain, mereka bisa terhibur dan menghabiskan waktu, terutama mengusir rasa bosan. 

Saya ingat betul, seorang murid sekolah minggu saya pernah sampai harus ditegur beberapa kali karena terus menerus memainkan PSP miliknya selama kegiatan LDK. Tentu saja, sebelum akhirnya mendapat teguran keras, ia sudah diingatkan secara halus. Namun, sikap yang cuek dengan teguran kami, gurunya, akhirnya membuat anak ini harus merelakan PSP nya disita sementara waktu sampai jam tidur malam datang.

Tak pernah terbayangkan pada saya akan jadi apa seluruh permainan tradisional dan edukatif yang sudah jarang dimainkan oleh anak-anak dimasa ini. Jangankan memainkan, mengenalnya saja bahkan mungkin tidak. Padahal, seluruh permainan itu mengasyikkan. Disamping semakin akrab dengan teman, permainan semacam itu lebih mengasah kemampuan dan otak, dan tentu saja olah raga. 

Sekarang, pertanyaan muncul dalam diri saya. Apa yang bisa saya dan seluruh pemuda lainnya bisa lakukan untuk tetap melestarikan permainan anak-anak tersebut? Bukan bermaksud menggeser eksistensi gadget canggih, namun membuat anak-anak (minimal) mengenal permainan lapangan ataupun permainan tradisional lainnya. Saya pun jadi tergelitik untuk memulainya dari lingkungan kecil di sekitar saya. Harapan saya tentu saja, membuat keberadaan permainan tradisional ini tetap eksis dan tidak hilang oleh jaman.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar