Rabu, 29 Februari 2012

Warna dan Rasa di Dunia Kuliah

Sebenarnya ini refleksi pribadi saja.
Sebagai seorang mahasiswi, ternyata lika-liku kehidupannya memang seperti roller coaster. Kadang naik, kadang turun. Kadang suka, kadang duka.
Dan memang semuanya penuh warna dan rasa. Ada manis yang kadang membuat kita (lebih tepatnya saya, karena ini refleksi pribadi) tak ingin hal itu cepat berakhir. Namun, ada juga pahit yang membuat wajah kita hilang senyuman, emosi meningkat, dan ingin hal itu cepat saja berakhir. 

Saat di SMU, saya sangat ingin cepat-cepat kuliah. Dalam benak saya, kuliah itu asyik. Jadwal kelas bisa diatur sendiri, banyak waktu luang untuk kumpul sama temen-temen, lebih mudah untuk networking dengan banyak orang, dan yang pasti tidak perlu menggunakan seragam. Wajar saja, 12 tahun menggunakan seragam mulai dari putih-merah, putih-biru, dan putih-abu-abu ; membuat saya jenuh. Kalau bisa menggunakan pakaian bebas, kan bisa lebih mengekspresikan diri, ya kan?

Tapi..
Tidak semua yang saya pikirkan itu benar dan menyenangkan. Hidup sebagai mahasiswi itu tantangannya besar sekali. Apalagi, entah beruntung atau tidak, saya terdaftar menjadi mahasiswi sebuah Universitas swasta di Jakarta yang cukup terkemuka dengan reputasi yang baik di Indonesia. Jelas, tantangannya semakin luar biasa.

Memilih kelas dari semester ke semester itu tidak semudah menjentikkan jari. Klik langsung jadi. Banyak proses yang harus dilewati. Birokrasi yang cukup panjang dan butuh kesabaran ekstra jika menghadapi masalah. Fiuuuh!

Hubungan pertemanan dan koneksi juga menjadi satu hal yang baru (buat saya pribadi) di dunia kuliah. Agak panik kalau setelah menerima KRS ternyata tidak banyak yang sekelas dengan teman-teman akrab alias peer group. Ya, memang di dunia kuliah, kita dituntut untuk mandiri. Bukan lagi jamannya bergantung sama teman akrab. Itu yang selalu berusaha saya ingat saat agak bete karena tidak sekelas dengan peer group. It's okay, yang penting lulus mata kuliah itu! hihihi

Soal koneksi, saya merasa beruntung di tahun kedua ini bisa mengenal banyak senior di fakultas maupun yang beda jurusan. Selain itu, ada beberapa alumni juga yang saya kenal. Di luar almamater yang sama, saya juga beruntung bisa mengenal beberapa teman-teman mahasiswa lainnya. Namun, dari diri saya pribadi, saya masih kurang bisa menjaga hubungan koneksi dengan baik. Sering lho, cuma saling komunikasi beberapa waktu, setelah itu hilang. Lagipula, entah kenapa ada kecenderungan saya merasa tidak percaya diri saat bertemu dan berbincang dengan orang-orang baru yang menurut saya hebat. Entahlah, rasa itu muncul begitu saja kok.. Hehehe.

Well, terakhir, mengenai jurusan yang saya inginkan. Jujur, kedua orang tua saya tidak pernah sekalipun memaksa saya untuk kuliah di jurusan atau universitas tertentu. Saya bebas memilih, namun, mereka tetap membimbing. Karena, kedua orang tua saya sadar bahwa percuma memaksakan keinginan mereka pada anak-anaknya ; saya dan adik saya. Jadi, lebih baik diberi kebebasan namun tetap bertanggung jawab atas pilihan itu.

Beberapa teman sudah pernah saya ceritakan bahwa awalnya saya sangat ingin kuliah di FISIP (Fakultas Sosial dan Politik) jurusan Hubungan Internasional dan FH di Universitas Indonesia. Ternyata, menjalani berbagai tes untuk diterima di UI tidak mudah. Semua hasilnya selalu gagal. Ideal self yang berlawanan dengan real self saya. Saya ini orang yang agak malas belajar (agak kok, belum sampai 'sangat' hehe), jadi saat mempersiapkan diri ikut berbagai tes masuk PTN (dan UI) saya santai saja. Belajar dari soal-soal di tahun-tahun sebelumnya dan membeli beberapa buku psikotest. Nah, yang seperti itu (real self saya) masak iya bermimpi menjadi keluarga besar The Yellow Jacket?

Tapi, saya gak menyerah. Di tahun 2011, pertengahan semester 2, saya ikut lagi tes SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Pilihannya hanya di UI tapi tidak cukup bernyali untuk memilih jurusan Hubungan Internasional. Akhirnya, yang saya pilih jurusan Sosiologi dan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Tapi, Tuhan memang punya rencana. Saya gagal lagi! Sedih memang, tapi saya coba terima dengan lapang dada.

Saya lanjutkan kuliah di PTS ini. Cenderung malas-malasan di semester 2 setelah kegagalan yang saya hadapi di SNMPTN tahun 2011. Tapi, anehnya, justru nilai yang saya dapat di semester ini bagus! Jauh lebih bagus dibandingan dengan semester sebelumnya. Waw! Saya pun jadi semangat untuk belajar.

Sekarang, saya akan memasuki semester 4. Saya coba refleksikan diri sendiri. Entah kenapa, saya merasa tertatih untuk mengikuti kuliah di sini. Nilai IPK saya (sampai di semester 3) cukup buruk, bahkan saya enggan menceritakan pada siapapun. Saya minder dengan teman-teman seangkatan yang superior dalam akademik. Ditambah lagi, ada beberapa teman yang survive di organisasi dan akademik. Semua sejalan, semua bagus. Saya sering membatin, "kapan ya gue bisa kayak gitu?"

Tapi, saya akhirnya mencoba untuk terus sadar bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Saya mungkin bukan orang yang baik dalam mengerjakan 2 tugas sekaligus. Saya harus fokus menyelesaikan satu tugas, baru mengerjakan tugas lainnya. Ya, tidak bisa juga dipaksakan, kan?

Refleksi ini sebenarnya sifatnya pribadi, tapi saya pikir, akan lebih baik jika orang bisa juga membacanya. Bukan bermaksud show off, tapi, saya hanya ingin mencurahkan saja isi kepala dan hati saya lewat tulisan ini. Hidup jadi mahasiswa itu kayak makan permen nano-nano (bukan promosi lhoo ya.. hehehe), ada asem ada manis.. Lakukan saja yang terbaik yang bisa dilakukan.. :)
sumber : ferrytriana.blogdetik.com

Sabtu, 04 Februari 2012

Sekotak Susu untuk Sebuah Senyum Harapan

Siang hari ini, aku merasa gembira melihat masih ada orang yang mau berbagi pada seorang anak kecil. Anak kecil yang terduduk lemas di depan sebuah minimarket di komplek rumahku. 

Ketika aku datang, pandangan ku langsung menuju ke anak kecil itu. Seorang anak kecil perempuan yang membawa sekarung berisi kardus bekas dan sebungkus plastik yang mungkin berisi makanan. Entahlah, mungkin. Tapi, kenapa ia tidak membuka bungkusan itu lalu memakannya? Aku pun tidak cukup berani bertanya padanya. Mata yang sayu, tubuh yang kurus, rambut yang cukup tipis, dan kulit yang pucat membuat ku menyadari bahwa bungkusan di plastik hitam itu bukanlah makanan. 

Terlalu lama aku memperhatikannya, membuat anak kecil itu menengok ke arah ku. Aku kaget dan refleks, aku masuk ke minimarket tersebut untuk membeli apa yang aku butuhkan. Entah kenapa, sorot mata anak itu membuat ku merasa iba. Aku merasa tidak enak memberi nya uang, karena dia bukan pengemis. 

Lalu, ketika aku sedang antri di kasir, aku melihat keluar. Sebuah pemandangan menakjubkan yang membuat ku bisa tersenyum dan bersyukur. Seorang ibu paruh baya menghampiri anak itu. Memberinya sekotak susu coklat dan selembar uang 5 ribuan. Lalu, dengan tersenyum, anak kecil itu mengucapkan "terima kasih". Aku memang tidak mendengarnya, tapi bisa kulihat dari cara mulutnya mengucapkan kata-kata. Lalu, si ibu membalasnya dengan senyuman dan belaian pada rambut anak kecil itu.

gambar hanya ilustrasi
Ketika si ibu pergi, anak kecil itu dengan sekuat tenaga yang ia miliki, berjalan ke arah seberang. Aku pun memperhatikannya. Ia ternyata menghampiri seorang kakek yang juga membawa karung dengan kardus bekas di dalamnya. Aku rasa itu kakeknya. Karena, dengan penuh rasa sayang, kakek renta itu memangku anak kecil tersebut dan membelai rambut pendeknya. Ia pun membantu si anak kecil menancapkan sedotan pada kotak susu yang digenggamnya. 

Ya, pemandangan yang bahkan tidak sampai 5 menit itu membuat ku menghela nafas dan tersenyum. Aku bersyukur masih ada orang baik di zaman seperti ini. Zaman dimana orang-orang dipenuhi rasa takut dan kecurigaan akan penipuan. 

Aku pun akhirnya keluar dari minimarket setelah membayar belanjaan ku. Lalu, ku gunakan helm, ku starter motor, dan berlalu pulang.


"... we can do no great things, only small thing with great love..." Mother Theresa

Kamis, 02 Februari 2012

Bunga yang (tidak) Semerbak Harumnya

Sebut saja namaku Bunga. Meskipun bukan nama sebenarnya, tapi, aku suka dipanggil Bunga. Usia ku 18 tahun dan status ku adalah mahasiswi. Tahun 2012 merupakan tahun pertama ku untuk kuliah dan jurusan yang aku pilih adalah Teknik Arsitektur.

Ini adalah kisahku. Kisah yang membuat hidupku berubah 100% dari normal menjadi abnormal.

==============================================================

Aku merasa sangat lelah setelah seharian menjalani tugasku dalam sebuah project. Sejak pagi, aku sudah harus tiba di kampus, kemudian melakukan perjalanan bersama seluruh teman-teman panitia dan peserta menuju sebuah panti asuhan di Bogor, dan menjalani kegiatan sesuai rundown yang telah dirancang.
Aku langsung pulang ketika acara di Panti Asuhan tersebut selesai.

Masih ada satu acara lagi yang harus aku hadiri, yaitu perayaan ulang tahun pernikahan kakak dari ibuku yang ke-25. Tidak cukup waktu untuk aku pulang kemudian bersiap-siap ke perayaan tersebut. Jadi, aku minta ibu dan adikku untuk membawa baju, sepatu, dan peralatan make-up ke dalam mobil.

Aku janjian dengan adikku di depan gerbang sebuah perumahan. Aku menggunakan bis dari bogor, lalu, untuk mempersingkat waktu dan menghindari hujan, ibu dan adik menjemputku. Di dalam mobil, entah kenapa,adik dan ibuku memberi reaksi yang tidak menyenangkan saat aku masuk.

Secara terang-terangan, Ibuku mengatakan, "Keringet kamu bau banget sih Kak?". Sontak, aku kaget dan berusaha mengalihkan pembicaraan dan menanggapi pertanyaan tersebut tanpa basa-basi. "Gak pake deodoran tadi", jawabku.

Tidak hanya ibuku yang beberapa kali menutup hidung, adikku pun bereaksi sama. Ia beberapa kali membuang nafas dengan agak lebay dan menahan kembali setelah mengambil nafas dengan mulutnya. Lalu, ia membuka jendela mobil. Mengibaskan tangannya, seolah-oleh mengusir bau apek yang ada di dalam mobil.

Aku pun mulai merasa terganggu. Lalu, aku (yang duduk di belakang), berusaha untuk menutupi bau tersebut dengan parfum yang aku bawa. Membuka jaketku dan aku ambil sapu tangan lalu aku lap keringat di leher, tangan, seta tengkukku.

Namun, semu tidak memberi dampak yang baik. Buktinya, adik ku yang saat itu menyetir tetap saja merasa terganggu. Ia bahkan sampai mengatakan, "Bau bener sih.." Meskipun terdengar seperti pendapat yang tidak ditujukan pada siapapun, aku merasa tersinggung. Sangat tersinggung!

Aku hanya diam. Merasa seperti orang asing, padahal dua orang di depan ku saat ini adalah keluargaku. Setiap hari bertemu, bercakap-cakap, dan bahkan (harusnya) mengenal bau badanku. Aku langsung ciut. Aku merasa seperti orang bodoh.

Sampai akhirnya, kami pun tiba di tempat yang dituju. Tanpa banyak komentar, aku menuju kamar mandi dan segera berganti pakaian. Tidak lupa, aku lap beberapa bagian tubuh, agak lebih segar. Selesai ganti baju, kupoles wajah ku dengan make-up. Bedak, blush on, eye shadow, eye liner, dan lipstik selesai aku pakai. Aku pun langsung menuju ke keluarga besarku yang sudah berkumpul.

Aku, berusaha menutupi kesedihanku. Aku tampilkan senyum terbaikku. Bertingkah seolah-olah semua baik-baik saja. Fake smile always make me suffer..

Beberapa hari kemudian..

Entah kenapa, aku menjadi takut berada di antara kerumunan banyak orang, termasuk teman-temanku sendiri. Aku menjadi lebih sensitif dengan tindakan orang lain di dekatku. Pikiran buruk datang saat orang yang berada di sekitar ku memegang atau mengusap hidungnya.

Semua itu semakin membuatku tidak nyaman. Aku pun menjadi pribadi yang cenderung tertutup sekarang. Aku lebih memilih untuk menghindari kerumunan. Aku memilih untuk diam tinggal di rumah daripada pergi bersama teman-teman.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Bulan pun juga berganti. Tak terasa, kini, di penghujung tahun, aku harus melewati tahun baru di tempat yang tak biasa. Ya, di sebuah bangsal.

=============================================================

"TIDAAAAAAAAK!!! PERGI KAMU! PERGI KAMU! PEREMPUAN BAU BUSUK!!!"

Mendengar teriakan tersebut, semua suster berlari ke arah bangsal nomor 13. Mereka mendapatinya tengah meringkuk di pojok ruangan. Sorot mata nya kosong dan ia menggigil kedinginan. Para suster akhirnya berusaha mengangkatnya dan membaringkan di tempat tidur.

Ketika seorang suster hendak menyuntikkan obat penenang, ia mengamuk lagi. "Pergi kamu!!! Aku tidak gila!! Aku waras! Aku, bukan perempuan yang bau busuk! Aku wangi!!!!!" Ia berteriak sambil mengobrak-abrik tempat tidurnya. Di tengah amukan, muncul sosok pria yang selama ini merawatnya.

"Dokter, bagaimana ini?" tanya seorang suster.
"Biar saya yang ambil alih" jawab dokter tersebut. Dokter kejiwaan yang juga merupakan kakak sepupunya.

"Safir, aku gak gila! Aku hanya takut! Aku terus dibayang-bayangi ketakutan akan semua ini. Apa badanku busuk?" tanya nya, pelan.

"Bunga.." Jawab dokter itu, yang ternyata bernama Safir.

"Safir,dengar! Aku tidak mau diberi obat apapun. Aku hanya ingin, kamu ke rumahku dan sampaikan pada keluargaku. Aku tidak mau lagi mereka mengunjungi ku!!!"

=======================================================================

Ya, kini, Bunga terpaksa berada dalam kurungan sebuah bangsal rumah sakit jiwa. Ia merasa depresi. Ketakutan akan bau badannya membuat Bunga mengisolasi diri dari dunia luar. Kini, semua terlambat. Bunga, yang tak semerbak harumnya, sudah tidak mau lagi bertemu dengan keluarganya. Ia merasa semua ini salah mereka dan Bunga tidak bisa memaafkannya.