Sabtu, 14 Juli 2012

Finally, DONE!

Puji Tuhan!!
Itulah kalimat pertama yang aku ucapkan ketika pertama kali melihat hasil nilai semester 4 secara online. Tidak ada nilai D untuk semester ini. Itu artinya, tidak ada mata kuliah yang tidak lulus di semester ini.

Nah, tidak seperti biasanya, kemarin aku merasa sangat gugup dan detak jantungku pun lama-lama semakin cepat irama nya ketika menunggu loading nilai di rainbow. Sungguh, aku sangat gugup dan takut! Bahkan, aku sampai menutupi wajah dengan kedua telapak tanganku.

Ya, trauma akan kegagalan yang aku alami di semester 3, membuatku sangat takut. Aku takut gagal lagi. Aku tidak siap jika harus melihat huruf D di nilai ku semester ini, sama seperti yang terjadi di semester sebelumnya. IP pun tidak cukup memuaskan, bahkan aku mengutuk semester ganjil lalu. Tapi... tak ada guna nya kalau aku hanya meratapi nasib. Pelan-pelan, aku berusaha untuk meningkatkan nilai di semester 4 dan ternyata hasilnya cukup memuaskan.

Sama seperti kebanyakan (bahkan mungkin semua) mahasiswa angkatan 2010 lainnya, semester 4 ini memang semester yang amat sangat sangat melelahkan. Sudah bukan hal asing ketika bertemu mereka di foodcourt Plaza Semanggi, McDonald Plaza Sentral, dan Hall C. Menginap di rumah teman pun menjadi hal yang amat sangat lumrah dan sering dilakukan di semester ini. Yap! Semua dilakukan semata-mata hanya untuk menyelesaikan paper, mengerjakan tugas kelompok, dan meraih nilai.

Tak aneh lagi jika melihat timeline di Twitter yang mengatakan bahwa semester 4 ini adalah semester kerja rodi, semester jahanam, semester paling melelahkan, dan sebagainya. Tak sedikit juga yang akhirnya jatuh sakit, entah itu hanya kelelahan biasa atau sampai harus dirawat di rumah sakit dan menangis karena kelelahan. Kopi pun menjadi teman setia ketika kami semua terpaksa begadang untuk mengerjakan tugas di Google Docs (gdocs). Tak lupa, ketika lapar menyerang, indomie menjadi solusi yang pas dan tercepat untuk memuaskan nafsu makan yang datang di tengah malam.

Well..
Aku pun melakukan dan merasakan hal yang sama. Lelah yang aku rasakan bukan hanya lelah fisik, tapi juga batin dan pikiran. Belum lagi konflik yang tidak bisa dipungkiri, menguji kekompakan kami sebagai kelompok. Tapi... lagi-lagi tak hentinya aku bersyukur bisa melewati semester ini dengan nilai yang cukup memuaskan. Meskipun ada satu huruf C yang tersisip diantara nilai yang lain, tapi untukku, bisa lulus di semua mata kuliah saja sudah sebuah berkat.

Terima kasih aku ucapkan untuk Tuhan Yesus, orang tua, teman-teman baikku, teman-teman kelompok, dan para asdos. Bukan bermaksud sombong, tapi aku menuliskan semua ini sebagai sebuah curahan hati. Thanks! :)

Print Screen nilai semester 4

Selasa, 10 Juli 2012

A Story from Village - Day 2



Kicauan burung, cahaya mentari yang samar-samar menembus gorden rumah kami, serta sejuknya udara pagi membuat kami terbangun dari tidur nyenyak. Satu persatu dari kami bangun, membereskan selimut serta jaket yang jadi kawan tidur tadi malam. Pintu rumah pun dibuka dan langsung saja, angin pegunungan mengenai wajah dan tubuh kami. Membuat kami kembali merapatkan jaket sambil sesekali meniup kedua telapak tangan untuk mengurangi rasa dingin yang kami rasakan.

Kami awali pagi dengan mencuci muka, sikat gigi, dan tak lama berselang kami pun dihampiri anak-anak yang tadi malam bermain dengan kami. Mereka menyapa kami dengan senyum dan canda tawa, membuat kami lebih bersemangat. Ajakan mereka untuk bermain bersama pun kami ikuti di pagi hari itu.


Kami saling bercanda-ria, mengobrol, memberi makan ikan, dan bermain taplak meja. Meskipun kami agak sebal dengan mereka yang tertawa karena melihat kami kedinginan di pagi hari ; menggunakan jaket, celana panjang, kaos kaki, bahkan sesekali kami meniup lalu menggosokkan kedua telapak tangan kami agar lebih hangat. Sedangkan, anak-anak ini, meskipun fisiknya lebih kecil daripada kami, tapi mereka tidak merasa kedinginan sama sekali. Bahkan, seorang diantara mereka menantangku "ayo atuh kakak berani engga mandi jam 5? hahaha"

Wah.. jujur saja kalau harus mandi jam 5 pagi dengan air dingin, aku sangat tidak sanggup! Itu sama artinya dengan berendam di air es.

Aktivitas kami lanjutkan dengan sarapan bersama. Lauk sederhana namun rasanya sungguh nikmat di lidah kami. Kebersamaan semakin terasa karena kami sarapan bersama anak-anak ini. Kami lahap sekali menghabiskan makanan yang disediakan Pak Anton.

Selesai makan, kami lanjutkan aktivitas kami dengan berkunjung ke rumah warga. Kalau kemarin kami ke aktivis desa, RT, dan RW, kali ini kami sengaja berkunjung ke warga desa yang rumahnya masih terbuat dari bilik bambu dan berbentuk panggung. Kami melewati sawah dan jalanan berbaju yang sangat jauh berbeda dengan kondisi di Jakarta.

Inilah kami bersama seluruh anak-anak desa yang ikut berkunjung ke rumah warga

Kami pun hanyut dalam kegembiraan bersama anak-anak ini untuk mengunjungi warga dari satu rumah ke rumah lain. Kelelahan yang kami rasakan hilang karena sukacita yang ada. Suasana desa yang hangat, udara yang sejuk, dan air yang dingin membuat kami rasanya ingin tinggal 1 malam lagi disini. Namun, apa daya? Kami harus kembali ke Jakarta. Berkutat dengan semua tugas dan kewajiban kami. Berjibaku dengan kemacetan, polusi udara, dan panasnya cuaca ibukota yang sudah menjadi bumbu harian kami menjalani aktivitas.

Akhirnya waktu juga yang memisahkan Aku, Amink, Vindy, Anne, dan Nesha dengan desa ini. Desa dengan sejuta cerita yang mau menerima kami selama 2 hari 1 malam. Desa yang membuat kami sejenak bisa menyegarkan pikiran dan tubuh kami dengan sejuknya udara di pagi, siang, sore, dan malam hari. Kami pun meninggalkan desa ini dengan sedih, namun juga ada rasa gembira. Sedih karena kami harus berpisah dengan mereka ; Pak Anton, anak-anak desa, dan suasana di desa Kaca-Kaca Dua. Namun, kami juga gembira karena kami akan kembali ke Jakarta, ke rumah kami masing-masing.

Kami dihantar Pak Anton yang juga kebetulan akan kembali ke Bandung. Namun, kami masih mendapatkan kejutan lagi dari Pak Anton. Kami dibawa ke Gunung Puntang untuk melihat keindahan alam disana. Dan.. ternyata, Gunung Puntang adalah tempat yang biasa digunakan mahasiswa/i Fakultas Teknik Unika Atma Jaya untuk berkemah.
Pesan dari FT-UAJ
Para mahasiswa/i FT-UAJ pun ternyata memberikan sebuah "hadiah" yang isinya berupa pesan mengenai hutan. Maklum saja, hutan di negara kita ini makin lama eksistensi nya semakin terancam. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan kita putra dan putri bangsa yang menjaga kelestarian hutan di Indonesia ini? Toh semuanya demi masa depan anak cucu kita bukan?
" Hutam Sumber Kehidupan.. Jaga dan Lestarikanlah Hutan Kita"

Kami pun berjalan menyusuri jalan setapak Gunung Puntang menuju sebuah sungai. Kanan kiri kami hanyalah kumpulan semak-semak dan rumput liar yang sengaja dibiarkan bertumbuh sampai lebat agar suasana asri tetap terjaga. Hampur 10 menit berjalan dan akhirnya......... sebuah sungai! Kami melihat dari kejauhan, kira-kira 3 meter. Namun, meskipun terpisah jarak 3 meter, segarnya air terasa di dalam tubuh kami. And, this is another great view that totally different with Jakarta, right? 

Tak tahan jika hanya memandangi dari kejauhan, kami pun segera menuju ke pinggir sungai tersebut. Kami lepas alas kaki dan menggulung celana. Kami jeburkan kami ke air. Brrrrrr! Dingin sekali. Itulah hal pertama yang kami ungkap dan rasakan saat kaki kami menyentuh air sungai ini.

Bukan "kami" namanya kalau tidak mengabadikan setiap momen dengan foto. Awalnya kami sempat tidak enak untuk meminta Pak Anton menjadi fotografer sementara untuk berfoto di sungai ini. Tapi, entah kenapa, Pak Anton bisa menangkap sinyal-sinyal "minta tolong" kami. Hahahaha. Pak Anton pun akhirnya menawarkan diri untuk menjadi fotografer sementara bagi kami di tempat ini.

inilah kami :)

inilah kami part II

inilah kami part III

Dan.. ya.. di sungai inilah kami mengakhiri liburan singkat kami. Setelah cukup puas memanjakan mata dengan pemandangan yang sangat indah, kami pun kembali ke Jakarta. Tapi.. tak lengkap rasanya jika tidak membawa oleh-oleh khas Jawa Barat untuk keluarga di rumah. Akhirnya, kami memutuskan untuk mampir sejenak di Bandung. Membeli beberapa oleh-oleh untuk dibawa ke Jakarta.

Kami senang. Kami gembira. Dan, kami tak sabar menanti jadwal kami untuk berkunjung ke desa ini yang kedua kalinya :)

Jumat, 06 Juli 2012

Kisah Singkat Bapak Supir Taksi

Aku pernah berbincang dengan seorang supir taksi yang usianya sudah tidak muda lagi. Di saat pria seumurannya sedang menikmati hari tua, bapak ini justru harus terus banting tulang demi keluarga. Ya, usianya sudah lebih dari setengah abad, tepatnya 52 tahun. Ia adalah seorang suami dan ayah dari dua orang anak yang kini sudah menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta.

Aku berbincang banyak mengenai kisah hidupnya. Awalnya, aku hanya iseng menanyakan sudah berapa lama bapak bekerja menjadi supir taksi? Bapak supir ini menjawab bahwa ia belum lama menekuni profesi ini. Bahkan, belum sampai satu tahun. Belum sempat aku melontarkan pertanyaan berikutnya, bapak ini bercerita tentang awal mula ia menjadi supir taksi.

Bapak supir ini adalah seorang sarjana. Ya, ia merupakan alumni sebuah institut teknik yang ada di Indonesia. Pekerjaan yang ia tekuni sebenarnya cukup baik, bahkan bisa dibilang mapan. Karir sebagai manajer terus menanjak. Meskipun, sampai akhirnya pada pertengahan tahun 2010, krisis global yang saat itu melanda perekonomian dunia, ikut memberikan dampak bagi perusahaan tempat bapak supir ini bekerja. Alhsasil, ia pun terkena PHK dan perusahaan tersebut ditutup.

Bapak supir ini pun memulai bisnis kecil-kecilan. Namun, sayang, dewi fortuna mungkin belum berpihak padanya. Bisnis nya tersendat. Bapak supir ini sadar bahwa sebagai seorang kepala kelurga, ia tidak bisa tinggal diam. Akhirnya, ia memutuskan menjadi supir taksi demi memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.

Aku merasa terharu mendengar kisahnya. Bapak supir ini mengatakan bahwa semua ia lakukan agar kedua anaknya bisa menjadi sarjana. Ia dan istrinya ingin melihat kedua anaknya bisa menggunakan toga dan dinyatakan lulus dengan gelar sarjana nya masing-masing. Ia tidak peduli jika dirinya harus terus bekerja keras pagi sampai malam, bahkan sampai pagi lagi. Fokusnya saat ini hanya satu, yaitu keluarga.

Bapak supir ini mengaku bahwa kehidupan yang ia dan keluarganya jalani saat ini berbeda 180 derajat. Dulu, ia termasuk orang dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Namun, kini, baginya dan keluarga, bisa setiap hari makan pun mereka bersyukur. Ia selalu berpesan pada kedua anaknya bahwa inilah kehidupan yang harus mereka jalani. Semua ini adalah kehendak Tuhan dan memang inilah yang terbaik. Ia pun bercerita bahwa pada awalnya, istri dan kedua anaknya tidak siap menghadapi ini semua. Terutama, anaknya yang pertama, yang hidup sebagai mahasiswi di salah satu kampus bergengsi di ibukota. Bapak supir ini selalu berusaha memberikan pengertian pada keluarga nya dan berjanji bahwa ini hanya sementara.

Aku semakin tertegun mendengar kisahnya. Aku yang juga seorang mahasiswi merasa terbawa dalam emosi anak pertama bapak supir ini. Aku tahu, pasti sulit baginya menjalani kehidupan yang snagat jauh berbeda dengan kehidupannya dahulu. Tapi, aku salut dengan bapak supir ini. Ia selalu berusaha memberikan pengertian bagi keluarganya.

Bapak supir ini berpesan padaku, bahwa sebagai manusia kita harus selalu bersyukur. Bukan hanya melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan. Selain itu, mengharagai adalah suatu hal yang juga penting. Baik itu menghargai orang lain ataupun benda seperti makanan dan uang.

Terima kasih, bapak supir. Kisah yang bapak ceritakan di perjalanan ini membuatku belajar mengenai roda kehidupan.