Selasa, 02 April 2013

Pengemis yang Bukan Mengemis

Kemarin, saya sengaja menghabiskan waktu makan siang saya dengan membeli semangkuk soto mie dan sepiring nasi di sebuah pasar yang letaknya tidak jauh dari tempat saya tinggal.

Selain karena kebetulan kemarin kuliah saya sedang libur, saya juga sengaja ingin mencicipi lagi soto mie yang sudah hampir dua tahun warungnya tidak saya sambangi. Ya, ternyata rasa dan kenikmatan soto mie di Pasar Lama itu masih sama. Tidak berubah sejak pertama kali saya mengenalnya ketika masih duduk di bangku SMP.

Tapi, tulisan ini bukan tentang soto mie. Melainkan tentang sekelompok pengemis.

Ya, pengemis. Mereka datang di kala saya dan beberapa pengunjung yang sebagian besar pegawai kantoran itu sedang menikmati makan siang kami. Sebenarnya, pengermis datang itu adalah hal yang wajar terjadi. Menolak dengan halus untuk tidak memberikan uang kepada mereka pun bukan hal yang aneh, kan?

Tetapi, saya kali ini agak naik pitam ketika sekelompok pengemis tersebut datang dan menghampiri meja kami satu per satu. Bayangkan, ketika beberapa orang yang masih asyik menikmati semangkuk soto mie nya, para pengemis itu meminta uang dan memaksa! Cara mereka memaksa pun cukup mengganggu, menurut saya. Mereka akan berdiri diam di samping, depan, dan belakang pengunjung sampai diberikan uang. Ketika seorang pengunjung hanya memberikan sebuah koin uang 500 rupiah, mereka justru marah dan meminta lagi.

Hal itu pun terjadi saat mereka menghampiri saya. Tiga orang anak kecil, saya perkirakan usia nya masih 9 - 11 tahun, datang dengan tangan menengadah. Suara lirihnya seolah-olah membuat siapapun yang mendengarnya merasa mereka lemah tak berdaya. Saya pun menolak dengan halus sambil mengucapkan "maaf ya, dek". Tapi, mereka tak kunjung pergi. Mereka justru duduk di samping saya, satu orang di belakang saya, dan mengetukkan jari nya ke meja. Tak tahan dengan sikap mereka yang tidak sopan itu, saya pun bicara dengan nada yang agak tinggi, "Maaf ya, dek. Lainnya." Tak lupa pandangan tajam dari saya dan beberapa orang di sekitar saya yang mereka terganggu.

Muka mereka pun kesal. Satu dari antara mereka menggebrak meja, tanda kemarahan atau mungkin sekedar kesal. Lalu, mereka pun pergi meninggalkan warung makan tersebut sambil bersungut-sungut.

Sepanjang jalan, saya berpikir. Salahkah saya bersikap seperti itu kepada mereka? Saya coba merefleksikan diri lagi. Saya tidak akan melakukan hal tersebut jika saya tidak merasa terganggu. Tak hanya saya, pengunjung lain pun demikian.

Sebenarnya, menjadi suatu hal yang miris saat seorang anak yang seharusnya menghabiskan waktu dengan belajar dan bermain, justru mengemis dari satu tempat ke tempat lain. Tapi, kenapa pula harus mengemis? Akan lebih "terhormat" rasanya ketika mereka bekerja, seperti mengamen atau berjualan koran. Dewasa ini, saya mulai selektif ketika hendak memberi sedekah pada pengemis. Kenapa? Saya kecewa ketika melihat beberapa berita mengenai pengemis yang sebenarnya hidup layak. Bahkan, punya beberapa mobil. Belum lagi, saya pernah lihat beberapa pengemis ternyata punya "koordinator", berpura-pura cacat fisik supaya membuat orang merasa iba, dan menggunakan anak kecil sebagai daya tarik. Ah, miris sekali!

Jadi, sebenarnya, siapa yang harus bertanggungjawab akan semua ini? Siapa yang seharusnya mengusahakan perubahan yang lebih baik bagi anak-anak yang sepertinya terpaksa menjadi pengemis ini?