Kamis, 06 November 2014

Ini nih Jatuh Cinta?

Mungkin sudah bawaan orok kalau aku ini orang yang mudah terbawa perasaan. Aku sensitif terhadap omongan serta perbuatan seseorang padaku. Ya kalau anak jaman sekarang menyebutnya baper (bawa perasaan).

Baper nya aku ini juga termasuk ketika aku menyukai seseorang. Aku bisa merasa gembira bukan kepalang ketika bertemu apalagi memiliki momen bersamanya. Namun, bisa sangat sedih dan murung saat gak bisa bertemu dengan dia.

Kali ini ceritanya agak sedikit berbeda. Walaupun aku sudah beberapa kali mengalaminya.

Aku sedang menyukai seseorang. Seorang cowok yang buatku memang spesial karena secara fisik dia tampan. Dia pun jago bermain alat musik serta memiliki suara yang bagus. Dia juga cukup pintar secara akademis walaupun menurutku pada beberapa mata kuliah dia terlihat seperti bermalas-malasan. Ah tapi wajar saja kan? Namanya juga mahasiswa..

Puji Tuhan aku memiliki momen bersamanya. Hari ini.

Sayangnya, aku berekspektasi terlalu tinggi. Alhasil aku menelan kekecewaan. Bukan senyum lebar yang terlukis di wajahku. Namun, wajah murung yang justru terlihat.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin itu hal yang paling pas untuk menggambarkan rasa sedihnya aku hari ini. Lelah tak tertahankan karena kegiatan yang menguras tenaga rasanya belum cukup membuat aku jenuh hari ini.

Aku harus kembali meneguk anggur asam dan pil pahit karena seseorang yang aku rasa bisa menjadi motivasi ku justru membuatku merasa semakin kecewa.

Ah.. akhirnya aku hanya bisa menghela napas panjang, Menekankan lagi pada diriku-yang-bodoh-ini untuk tidak berharap terlalu tinggi. Kemudian, berusaha keras agar air mataku tidak jatuh membasahi pipi.

Namanya juga jatuh cinta.. Harus siap sakit karena "jatuh" kan?

-s

Kamis, 02 Oktober 2014

It Always Happen Unexpectedly

Kali ini aku benar-benar tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi.
Bayangkan saja aku sudah lama mengagumi sosok pria di hadapan ku ini sejak lama. Sejak pertama kali ia masuk kuliah dan itu terjadi di tahun 2011, tepat tiga tahun setengah yang lalu.

Selama tiga setengah tahun itu, aku hanya bisa memandangi nya dari jauh. Menyapanya pun aku tak mampu apalagi harus saling bertukar senyuman dan mengobrol. Sampai akhirnya keterlibatan kami berdua dalam sebuah kegiatan sosial di Fakultas membuat kami akhirnya bertemu dan saling bertegur sapa.

Pada awalnya, aku ragu untuk menyapa dia yang di mata ku sangat sempurna. Dia tampan, memiliki kemampuan musik yang baik, dan sangat dikenal oleh hampir seluruh mahasiswa di fakultas tempat aku menimba ilmu. Namun, karena kami sama-sama terlibat di project ini dan kami berdua memiliki peran yang cukup penting, maka aku pun memberanikan diri untuk menegurnya. Saat itu, Taman Ismail Marzuki menjadi saksi keberanian aku untuk menyapa dia dan mencoba untuk mengobrol walaupun dengan topik yang sangat dangkal. Tapi, tak apa.. Setidaknya dia bisa mengetahui nama ku dan kami bisa saling bertukar senyuman.

Sampai akhirnya tiba lah hari yang aku nantikan, yaitu 2 September 2014. Aku dan dirinya (bersama dengan teman-teman lainnya) harus berangkat menuju suatu lokasi di Jawa Barat untuk menjalankan tugas selama tiga hari dua malam. Posisi kami memang berbeda saat itu dan tentunya ada job desk yang berbeda juga. Namun, interaksi antara kami sangat mungkin terjadi. Saat itu, aku benar-benar merasa tidak percaya bahwa dia memanggil nama ku. Sesuatu yang bahkan diluar bayangan ku, namun hal itu terjadi! Aku benar-benar gembira! Bahkan, aku masih ingat betul ekspresi, lokasi, dan kalimat yang ia keluarkan ketika hari itu. Tak ku duga juga bahwa jarak berdiri diantara kami aku rasakan begitu dekat. Mungkin dia dan yang lainnya merasa hal itu biasa saja, namun tidak dengan diriku. Aku merasa ini adalah hal yang luar biasa.. Sangat jauh dari dugaan!

HARI INI.. aku pun sangat merasa gembira karena dia duduk di depan ku. Bahkan, kami berjalan bersama dari suatu lokasi sampai ke perpustakaan. Sungguh ini adalah suatu hadiah yang indah dari Tuhan. Setelah dua minggu lalu aku merasakan hal yang sangat menggembirakan dan membuatku ingin waktu bisa berhenti, kali ini aku kembali merasakan itu.

Terima kasih, Tuhan.. Engkau memang baik!

(ditulis oleh penulis yang ketika menulis blog ini sedang duduk berhadapan dengan sang lelaki yang ada dalam tulisan ini).

Jumat, 30 Mei 2014

[Refleksi Diri] Aku Kecewa dan Maafkan Aku Jika Akhirnya Kalian pun Merasa Kecewa

Sejujurnya aku kecewa. Aku kecewa dengan diriku yang tak mampu mengungkapkan isi hati dan pikiran pada orang lain. Aku terlalu takut dan ragu. Aku terlalu sering memikirkan perasaan orang lain, tanpa peduli dengan diriku sendiri.

Apakah ini baik?

OF COURSE NOT! People often taken for granted my kindness. They act like they care, but they don't! 

Pada akhirnya aku lah yang harus menelan kekecewaan tersebut dengan rasa pahit. Aku tumpuk semua kekecewaan itu sampai menjulang tinggi dan terkubur di dalam diriku. Pada akhirnya, tak ada lagi ruang yang bisa aku sediakan untuk kekecewaan lainnya. Aku pun jatuh dalam rasa kecewa yang sangat dalam dan sampai pada waktunya, ledakan emosi pun terjadi.

Tidak.. aku tidak bisa marah sambil berteriak. Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu manakala hati ini tersayat karena kekecewaan itu. Air mata ku menjadi saksi bisu betapa aku benar-benar kecewa. Aku kecewa yang mereka yang mengecewakan aku. Aku kecewa dengan diriku sendiri yang sepertinya "terlalu baik" dan mudah memberi toleransi. Aku kecewa dengan keadaan yang seringkali aku rasakan tidak adil.

Tulisan ini merupakan manifestasi kekecewaan ku yang aku buat dengan emosi yang sedang meledak. Maafkan jika lewat tulisan ini, kalian merasa kecewa pada ku. Tapi.. semua ini aku lakukan karena rasa kecewa yang sudah dalam. Aku lelah karena harus membawa kekecewaan ini kemanapun aku pergi.

Sabtu, 10 Mei 2014

[REFLEKSI DIRI] Nothing Worth Having Comes Easy

Aku kini bukan lagi seorang remaja perempuan dengan usia belasan. Usia ku sudah kepala dua, tepatnya dua puluh dua tahun. Aku sudah lewati masa-masa menggunakan baju putih-merah, putih-biru, dan bahkan putih-abu. Kini, aku sedang berjuang menyelesaikan masa studi S-1 yang ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. 

Perjuangan menyelesaikan skripsi ini belum lah berakhir. Sama seperti perjuangan untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Masih ada jalan panjang yang harus aku lalui. Bahkan, ketika aku dinyatakan lulus setelah sidang, mengikuti proses yudisium, dan akhirnya wisuda pun, perjuangan itu belum berakhir. Hidup adalah perjuangan. Mau hidup, ya harus berjuang. Well, itu jadi prinsip ku saat ini.

Bicara soal prinsip hidup, rasanya jika mengingat lagi ke belakang, aku bukanlah seseorang yang memiliki semangat berjuang yang tinggi. Sejak kecil, aku terbiasa hidup senang, semua ada, dan ya belum benar-benar merasakan yang namanya perjuangan. Namun, Tuhan berikan kesempatan untuk aku berjuang. Walaupun, cara-Nya sempat membuat ku merasa hampa, kosong, tak berdaya, tak berguna, dan bahkan ingin mati saja. 

Aku pun tak sampai hati sebenarnya untuk benar-benar menghabisi nyawa ku sendiri. Jika aku ingat seluruh keluarga ku, rasanya kok aku begitu egois ya? Lalu, aku pun pergi dengan sia-sia. Meninggalkan orang-orang yang aku cintai, cita-cita, dan semua harapan yang sudah aku bangun sejak lama. Ah! Aku begitu bodoh jika sampai benar-benar bunuh diri.

Ketika dalam keadaan yang terombang-ambing, I deeply thank to my Lord Jesus, karena aku dipertemukan dengan seseorang yang bersedia mendengar keluh kesahku. Seseorang yang sebenarnya aku hormati karena status dalam pekerjaanya, namun beliau adalah seseorang yang (menurutku) sangat memahami orang lain. Bagaimana tidak? Aku bisa dengan mudahnya menceritakan pikiran jahat ku untuk bunuh diri dan beliau tidak mengecap aku negatif! Sama sekali. Beliau memahami kondisi ku saat itu dan ya saat ini. Sungguh, Tuhan begitu baik!

Beliau adalah dosen pembimbing skripsi ku. Dosen yang sudah aku kagumi sejak masih berada di tahun pertama kuliah. Dosen yang bagi ku memiliki sifat keibuan yang begitu besar. Aku pun telah mendengar berbagai cerita mengenai dirinya yang berjuang dari nol meraih semua cita-citanya. Jujur saja, aku kagum!

Beliau pula yang membuat ku kembali menemukan semangat untuk mengerjakan skripsi, berdamai dengan situasi dan diriku sendiri. Beliau pula yang telah membuat ku belajar bahwa tidak ada keberhasilan yang dapat diraih tanpa perjuangan. Semakin besar perjuangan, maka hasil nya semakin besar pula. Beliau pula yang mengingatkan ku bahwa ada DIA yang telah mengatur segalanya. Hanya pada DIA lah kita sebagai umat manusia harus bersandar.

Ya.. keadaan di sekitar ku memang belum banyak berubah. Tantangan semakin berat dan besar seiring bertambahnya usia ku. Aku pun baru saja menyadari bahwa aku adalah kunci dari keadaaan ini. I AM THE KEY! Artinya, aku lah yang bisa membuka gembok nya, membuat aku dan keluargaku masuk pada fase yang lebih baik. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Hanya satu hal : BERJUANG!

Terima kasih, Ibu Murni.. 

Senin, 31 Maret 2014

Si S dan Pejuang Bab Satu

Menjadi seorang mahasiswi semester 8 bukanlah perkara mudah. Memang, tidak ada satupun semester yang aku rasa mudah untuk dijalani. Namun, semester 8 berbeda dengan tujuh semester lainnya. Sangat berbeda.

Sejak semester satu sampai tujuh, mayoritas tugas aku kerjakan secara berkelompok. Karena, ya memang seperti itulah kehidupan di Fakultas Psikologi. Tugas yang dikerjakan, baik itu untuk presentasi, UTS, maupun UAS tidak sedikit yang jumlahnya berkelompok. Lalu, sampailah aku pada semester 8. Sebuah semester yang membuatku harus menyelesaikan SKRIPSI. Tugas akhir yang bersifat individu.

Layaknya tokoh Lord Voldemort dalam setiap film Harry Potter, SKRIPSI menjadi satu nama yang tidak boleh disebut atau you-know-who. So, akhirnya setiap kali bertemu dengan teman seangkatan yang juga sedang berjuang mengerjakan Skripsi, aku selalu menyebutnya dengan "SI S".

"Apa kabar S lo?", "Sampai mana nih si S udah lo kerjain?", pertanyaan semacam itulah yang biasanya aku ajukan pada teman-teman yang masih merombak sana-sini bab 1,2,dan 3 nya. Lambat laun, aku mulai terbiasa menyebut istilah skripsi dengan "si S". Yah anggap saja itu "panggilan spesial" buatku untuk dirinya. Hahaha.

Semakin lama bergaul dengan teman-teman yang juga masih berjuang dengan S nya masing-masing, membuatku menemukan berbagai istilah atau sebutan baru. Misalnya saja, "Pejuang Bab Satu". Ya, tak sedikit pula yang ternyata masih memperjuangkan Bab 1 nya, mungkin sampai titik darah penghabisan. Masih merombak kalimat demi kalimat, mematangkan teori dengan membaca belasan bahkan mungkin puluhan jurnal, dan masih banyak lagi yang harus dilakukan untuk membuat Bab Satu mencapai istilah "Sempurna".

Aku pun bernasib sama. Masih berjuang untuk Bab Satu.

Masa mengerjakan si S ini memang tidak mudah. Namun, tidak pula sulit. Sebut aku beruntung karena memiliki seorang pembimbing yang keibuan. Meskipun beliau adalah orang yang disiplin dan perfeksionis, menurut ku.

Aku pun menarik napas panjang karena membayangkan jalan berliku di depan yang harus aku lewati untuk bisa menyelesaikan si S ini. Rasanya masih panjang sekali jalan yang harus aku lalui. Hal yang memotivasi ku saat ini adalah kalimat dari Ibu Dosen Pembimbing : "bukan kepandaian yang utama. Tapi, niat dan ketekunan itu kuncinya mengerjakan skripsi".

Baiklah! Aku harus cepat selesaikan si S ini dan segera melepaskan predikat "Pejuang Bab Satu".