Senin, 16 Februari 2015

Skripsi ini Benar-benar Membunuh Aku Secara Perlahan

Aku tak pernah menyangka bahwa seberat ini membuat dan menyelesaikan Skripsi. Aku tak pernah membayangkan bahwa karena memikirkan Skripsi yang tak kunjung selesai, aku sampai stress bahkan depresi. Tak pernah sedikitpun terlintas di pikiran ku bahwa aku akan mengalami masa-masa berat dan sulit ini. Begitu berat dan sulitnya Skripsi ini buat ku, hingga aku beberapa kali berpikir untuk mengakhiri hidupku.

Ya.. sempat terlintas di pikiran ku untuk mengakhiri saja hidupku yang tak berguna ini! Buat apa aku terus hidup jika hanya bisa membuat kedua orangtua ku kecewa..??!!? Buat apa aku terus ada di dunia ini jika sering mengalami kegagalan..??!!? Aku malu karena belum juga menyandang gelar sarjana! Aku stress karena Skripsi ini belum juga selesai! Aku merasa kebebasan ku direnggut, dirampas, dan aku merasa seperti tidak hidup. Aku lelah.

Dulu.. ketika aku baru menjadi mahasiswa, aku punya banyak mimpi. Tidak. Bahkan sejak kecil, sejak masih kanak-kanak aku punya banyak mimpi. Mungkin memang aku terlahir sebagai seorang pemimpi. Sayangnya, terlalu banyak mimpi ku yang gagal ku raih. Terlalu banyak hingga aku lupa berapa kali aku gagal untuk dapat membuat orang-orang bangga denganku. Namun, meskipun aku mengalami banyak kegagalan, aku tidak pernah takut untuk bermimpi. Aku terus bermimpi, bahkan aku sudah merangkai begitu banyak rencana hingga sepuluh, lima belas, bahkan dua puluh tahun ke depan.

Sekarang... semuanya berubah! Sejak aku batal untuk mengumpulkan Skripsi di akhir Januari 2015 lalu, aku merasa hidupku hampa. Hancur. Aku tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa menangis. Aku selalu memikirkan Skripsi ku sejak aku membuka mata di pagi hari. Bahkan, aku pernah membayangkan, mungkin jika esok pagi aku tidak lagi bangun, aku tidak perlu memikirkan Skripsi ini lagi. Ya.. aku sangat hancur, stress, bahkan depresi karena meratapi nasibku yang tak juga lepas dari Skripsi ini. Aku juga tidak lagi berani bermimpi. Aku takut untuk mengalami lagi kegagalan. Jangankan rencana lima tahun ke depan, rencana untuk esok hari saja aku takut membuatnya.

Aku pun sadar bahwa kondisi ini membuat ku tidak sehat secara mental. Tetapi, jujur saja, aku tidak tahu harus apa dan bagaimana. Aku tahu, bahwa jalan satu-satunya adalah menyelesaikan Skripsi ini. Namun, aku tidak lagi memiliki semangat. Setiap kali menghadapi jalan buntu ketika coba menyelesaikan Skripsi, aku hanya bisa menangis. Menangis dan terus menangis. Keadaan semakin buruk karena aku tidak memiliki teman untuk berbagi kisah ini. Aku hanya bisa menangis. Berdoa pun rasanya aku seperti belum merasa tenang.

Kini.. aku hanya berharap masa-masa sulit ini segera berlalu.