Senin, 17 September 2012

Lelaki berinisial E

Saat ku jumpa dirinya di suatu suasana, terasa getaran dalam dada.
Ku coba mendekatinya, menatap dirinya, oh dia sungguh mempesona.
Ingin aku menyapanya, menyapa dirinya, bercanda tawa dengan dirinya.
Namun apa yang kurasa, aku tak kuasa, aku tak tahu harus berkata apa?

inikah namanya cinta?
inikah rasanya cinta?

Penggalan lirik itu mungkin sesuai dengan kisah yang gue alami di penghujung tahun 2010. Pertama kali gue liat dia di kampus untuk meminta tanda tangan senior, gue udah merasa ada sesuatu yang berbeda. Padahal saat itu, dia hanya menggunakan kaos berwarna hitam, celana jeans warna senada, dan sendal jepit. Engga ada yang spesial dari penampilannya, tapi, buat gue momen itu adalah sesuatu yang spesial. 

Setelah itu, gue pun tahu namanya, angkatannya, dan nomor handphone nya. Tapi, gue engga akan mengambil langkah ekstrim untuk mulai sms duluan. Lagipula, gue sama sekali belum kenal dia. Buat apa juga gue sms duluan?

Inisal E!
Kita sebut dia demikian di tulisan ini. Seorang cowok berdarah batak, berkulit gelap, dan berinisal E. Seorang cowok yang akhirnya membuat gue betah untuk terus ada di kampus. Seorang cowok yang memang dingin sikapnya, tapi membuat gue semakin penasaran untuk mengenalnya lebih dekat.

Doa gue sepertinya dijawab oleh Tuhan. Gue punya kesempatan untuk bisa ketemu dia lebih intens di semester ke-2, di bulan Maret tahun 2011. Saat itu, di kelas Statistik II gue bisa sekelas sama dia. Senangnya luar biasa. Karena, setiap hari Sabtu, gue punya kesempatan untuk bertemu dia, melihat dia di kelas dan siapa tahu gue akhirnya bisa mengenal dia lebih dekat.

Ternyata, eskpektasi gue terlalu tinggi. Selama satu semester di kelas Statistik II, gue justru hanya berani menatap dia. Melihat dia dari kejauhan tanpa berani menyapanya sedikitpun. Setiap kali tatapan mata kita tidak sengaja bertemu, gue justru menghindar. Gue terlalu takut untuk memulai percakapan terlebih dahulu sampai akhirnya, kelas Statistik II pun selesai. Gue seneng banget bisa lulus, meskipun secara bersamaan, gue merasa sedih karena engga bisa bertemu E lagi secara intens.

Semester ke-3, gue engga bisa bertemu E lagi secara intens. Hanya sesekali saja, entah itu di suatu restoran cepat saji di samping kampus, di depan gerbang saat dia ngerokok, atau di hall tempat anak-anak Psikologi asik mengobrol dan mengerjakan tugas. 

Sebenarnya banyak kesempatan untuk gue bisa mengenalnya lebih dekat, tapi gue terlalu takut. Gue terlalu jaim untuk sekedar memberi senyuman atau menyapa. Gue berharap terlalu tinggi untuk sesuatu yang tidak gue usahakan. 

Kesempatan itu datang lagi. Gue punya kesempatan ke-2 untuk bisa mengenalnya lebih dekat. Kali ini di kelas Psikologi Klinis, di semester padat tahun 2012. Di bulan Januari itu, gue bisa satu kelompok dengan E. Kelompok yang sudah dibentuk di awal kelas adalah kelompok yang akan dipakai sampai kelas ini berakhir. Jadi, selama 2 bulan, gue akan terus di dekat E. Oke, itu ekspektasi gue, yang (mungkin) terlalu tinggi.

Apa yang gue harapkan engga sepenuhnya salah. Gue memang jadi lebih intens untuk bisa ketemu E. Gue jadi berani untuk mengobrol dan mentapa matanya. Gue jadi engga canggung untuk mulai sms duluan. Gue merasa seneng banget ketika kerja kelompok, dia duduk di samping gue. Gue merasa engga karuan saat denger suaranya di telepon. Ditambah lagi, setiap kali kelas, duduk dengan teman sekelompok dan membuat lingkaran adalah suatu kewajiban. Sometimes, I sit beside him, but usually I sit in front of him. So, can you imagine how happy I am at that time? :)

Mengingat momen yang terjadi 8 bulan lalu itu hanya membuat gue menyesal. Menyesal karena, selama 2 bulan kesempatan itu di depan mata, tapi tidak gue manfaatkan. Kembali, tingginya jaim gue yang membuat semua langkah awal yang sudah disiapkan, hanya jadi goresan di atas kertas. Tidak pernah gue realisasikan. Hanya di impikan.

Sedih? Iya.
Kesel? Iya.

Sekarang, jangankan bisa tertawa bersama lagi seperti di bulan Januari, menyapa dan memberi senyum pun berat untuk gue lakukan. Saat gue merasa yakin akan perasaan gue sama dia, gue bertekad untuk serius. Gue bertekad kalau gue punya kesempatan bisa jadian sama dia, gue akan menjalaninya dengan serius. Salah satu alasannya adalah gue udah lelah untuk hubungan yang engga serius. Alasan berikutnya, gue merasa yakin kalau dia adalah seorang cowok yang tidak akan main-main untuk urusan asmara. So, semua alasan itu yang akhirnya membuat gue membawa perasaan ini dalam doa.

Sepertinya, doa gue terjawab. Lelaki-Berinisial-E akhirnya tahu perasaan yang gue pendam untuknya selama hampir 2 tahun. Sayangnya, takdir yang gue terima adalah cinta gue bertepuk sebelah tangan. Pelan tapi pasti, gue akhirnya tahu kalau cintanya bukan untuk gue. Entah karena gue memang gue bukan cewek idaman yang dia cari, atau karena sudah ada seseorang di hatinya. Satu hal yang pasti, gue sedih.

Kesedihan yang berlarut-larut bukan hal yang baik. Semua tahu itu, termasuk diri gue. Makanya, gue mau banget untuk move on. Gak mudah memang, tapi gue harus bisa. Gue engga mau kalau akhirnya gue menutup mata dan hati gue untuk orang lain. Bukan bermaksud sok religius, tapi gue tetap berusaha bawa semua dalam doa. Meskipun, engga jarang gue marah karena sakit hati harus gue alami lagi. 

Hey, Lelaki-Berinisial-E..
Gue engga berharap banyak untuk cinta lo bisa gue miliki. Karena, cinta tidak harus memiliki kan? 
Tapi, satu hal yang harus lo tau, lo udah buat hidup gue lebih berwarna. Manis dan asem bisa gue rasain, salah satunya karena lo. Gue mungkin bukan yang terbaik buat lo dan lo pun mungkin bukan yang terbaik buat gue. Meksipun begitu, semua hal yang gue lewati bersama lo, engga akan gue lupakan :)


Best regards,
your ex secret admirer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar