Jumat, 06 Juli 2012

Kisah Singkat Bapak Supir Taksi

Aku pernah berbincang dengan seorang supir taksi yang usianya sudah tidak muda lagi. Di saat pria seumurannya sedang menikmati hari tua, bapak ini justru harus terus banting tulang demi keluarga. Ya, usianya sudah lebih dari setengah abad, tepatnya 52 tahun. Ia adalah seorang suami dan ayah dari dua orang anak yang kini sudah menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta.

Aku berbincang banyak mengenai kisah hidupnya. Awalnya, aku hanya iseng menanyakan sudah berapa lama bapak bekerja menjadi supir taksi? Bapak supir ini menjawab bahwa ia belum lama menekuni profesi ini. Bahkan, belum sampai satu tahun. Belum sempat aku melontarkan pertanyaan berikutnya, bapak ini bercerita tentang awal mula ia menjadi supir taksi.

Bapak supir ini adalah seorang sarjana. Ya, ia merupakan alumni sebuah institut teknik yang ada di Indonesia. Pekerjaan yang ia tekuni sebenarnya cukup baik, bahkan bisa dibilang mapan. Karir sebagai manajer terus menanjak. Meskipun, sampai akhirnya pada pertengahan tahun 2010, krisis global yang saat itu melanda perekonomian dunia, ikut memberikan dampak bagi perusahaan tempat bapak supir ini bekerja. Alhsasil, ia pun terkena PHK dan perusahaan tersebut ditutup.

Bapak supir ini pun memulai bisnis kecil-kecilan. Namun, sayang, dewi fortuna mungkin belum berpihak padanya. Bisnis nya tersendat. Bapak supir ini sadar bahwa sebagai seorang kepala kelurga, ia tidak bisa tinggal diam. Akhirnya, ia memutuskan menjadi supir taksi demi memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.

Aku merasa terharu mendengar kisahnya. Bapak supir ini mengatakan bahwa semua ia lakukan agar kedua anaknya bisa menjadi sarjana. Ia dan istrinya ingin melihat kedua anaknya bisa menggunakan toga dan dinyatakan lulus dengan gelar sarjana nya masing-masing. Ia tidak peduli jika dirinya harus terus bekerja keras pagi sampai malam, bahkan sampai pagi lagi. Fokusnya saat ini hanya satu, yaitu keluarga.

Bapak supir ini mengaku bahwa kehidupan yang ia dan keluarganya jalani saat ini berbeda 180 derajat. Dulu, ia termasuk orang dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Namun, kini, baginya dan keluarga, bisa setiap hari makan pun mereka bersyukur. Ia selalu berpesan pada kedua anaknya bahwa inilah kehidupan yang harus mereka jalani. Semua ini adalah kehendak Tuhan dan memang inilah yang terbaik. Ia pun bercerita bahwa pada awalnya, istri dan kedua anaknya tidak siap menghadapi ini semua. Terutama, anaknya yang pertama, yang hidup sebagai mahasiswi di salah satu kampus bergengsi di ibukota. Bapak supir ini selalu berusaha memberikan pengertian pada keluarga nya dan berjanji bahwa ini hanya sementara.

Aku semakin tertegun mendengar kisahnya. Aku yang juga seorang mahasiswi merasa terbawa dalam emosi anak pertama bapak supir ini. Aku tahu, pasti sulit baginya menjalani kehidupan yang snagat jauh berbeda dengan kehidupannya dahulu. Tapi, aku salut dengan bapak supir ini. Ia selalu berusaha memberikan pengertian bagi keluarganya.

Bapak supir ini berpesan padaku, bahwa sebagai manusia kita harus selalu bersyukur. Bukan hanya melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan. Selain itu, mengharagai adalah suatu hal yang juga penting. Baik itu menghargai orang lain ataupun benda seperti makanan dan uang.

Terima kasih, bapak supir. Kisah yang bapak ceritakan di perjalanan ini membuatku belajar mengenai roda kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar