Kamis, 24 Mei 2012

Ketika

Hidup penuh liku-liku.. Kadang suka, kadang duka..

Penggalan lirik diatas adalah hal yang memang benar adanya. Ada suka dan ada duka yang menjadi warna tersendiri di dalam hidup masing-masing insan manusia. Termasuk diriku.

Seringkali aku bertanya dalam hati dan dalam doa ku, "Tuhan, untuk apa aku ada di dunia ini?"
Pertanyaan itu sebenarnya masih belum terjawab sampai detik ini dan akan selalu menjadi misteri besar dalam hidupku, entah sampai kapan.

Aku punya alasan kenapa melontarkan pertanyaan tersebut pada Sang Pencipta. Alasannya adalah karena aku pernah berusaha untuk mengakhiri hidupku. Aku lupa tepatnya kapan, tapi saat itu aku belum tamat SMA. Aku merasa emosi ku masih labil dan pikiranku masih sempit.

Usaha untuk bunuh diri aku lakukan karena aku merasa tidak berguna ada di dunia ini. Aku merasa hanya menjadi benalu di lingkunganku. Aku merasa tidak memiliki bakat apapun dan hanya bisa pasrah ketika kalah bersaing. Makanya, aku pun bertanya padaNya, "untuk apa aku ada di dunia ini?"

Siapapun yang tidak mengalami hal yang sama seperti aku, pasti akan mengatakan bahwa aku bodoh pernah mencoba bunuh diri untuk alasan yang cemen. Ya, aku memang bodoh. Sangat bodoh. Tapi, tahukah Anda bagaimana rasanya ragu akan kemampuan diri sendiri? Dan merasa rendah diri karena berada di antara orang-orang superior dengan bakatnya masing-masing?

Jujur saja, sangat tidak enak. Aku merasa menjadi lapisan kedua bahkan paling bawah. Tidak mampu membuat orang terkesan dengan bakat yang aku punya dan selalu berharap keajaiban datang. Itu menyebalkan. Dan, Anda tidak akan bisa jika hanya membayangkan saja.

Seiring perjalanan waktu, aku belajar untuk menjadi lebih dewasa, terutama dalam iman dan pikiranku. Aku mencoba memandang semua hal positif dan selalu menanamkan dalam diri bahwa setiap manusia diciptakan dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Aku pun semakin mengenal banyak orang dengan keunikan dan kepribadian masing-masing yang membuaku semakin belajar arti dari hidup ini.

Aku mungkin belum menemukan jawaban atas pertanyaan tadi, namun setidaknya aku sudah bisa berpikir terbuka dan luas tentang keberadaan ku di dunia ini. Aku pun berjanji untuk tidak lagi berpikir apalagi sampai berusaha untuk bunuh diri. Aku ada di dunia ini karena IA punya rencana.

Minggu, 06 Mei 2012

Anak-anak dan Permainan

Jumat, 4 Mei 2012.
Saya berkesempatan pergi ke Bandung bersama dua orang kawan, Vindy dan Anne. Tulisan saya kali ini bukan soal rapat atau pertemuan yang kami lakukan dengan pengurus Keuskupan Bandung. Bukan juga cerita tentang perjalanan yang kami lakukan, yang dimulai sejak pukul 07.00 WIB. Tapi, tulisan ini tentang refleksi diri saya mengenai anak-anak.

Sabtu sore, kami menunggu seorang bapak yang kebetulan mengenal jelas desa yang akan kami kunjungi, yaitu Bapak Anton. Kami bertiga, diantar seorang bapak dari Keuskupan Bandung, Pak Endar,  sepakat menemui Bapak Anton di SD Santa Ursula, Bandung. Murid-murid disana kebetulan sudah banyak yang pulang. Namun, masih ada beberapa yang menunggu orang tua mereka menjemput.

Selama menunggu hampir 1 jam, Saya duduk di kursi yang ada di sebuah aula besar tempat anak-anak menunggu orang tua nya yang letaknya tepat setelah memasuki gerbang utama. 

Disana ada banyak mainan anak-anak. Mainan tradisional, tentunya. Saya pun iseng melihat semua mainan itu. Ada congklak, puzzle, lego, mainan lain yang terbuat dari kayu, dan masih banyak lagi. Senang sekali rasanya melihat semua mainan itu. Memori tentang masa kecilku pun seketika itu pula muncul.

Saya ingat betul seluruh mainan itu pernah saya mainkan sampai usia SMP. Semua permainan yang menurut saya cukup mengasah otak dan keterampilan. Permainan lapangan lainnya juga jadi hiburan tersendiri di sore hari setelah bangun tidur siang. Misalnya saja, petak umpet, petak jongkok, atau galasin. Ah, ingin rasanya saya memainkan lagi semua permainan itu saat ini, disaat saya sudah menjadi seorang mahasiswi.

Saya pun merefleksikan semua mainan yang saya lihat dan pegang dengan masa kecil saya, lalu saya ingat betapa anak-anak di jaman sekarang mungkin sudah tidak mengenal semua jenis permainan itu. Mereka lebih memilih untuk memiliki gadget canggih yang jadi altenatif pengusir rasa bosan. Bahkan, mereka mungkin sudah terbiasa untuk membawa tablet pc seperti Ipad, Galaxy Tab, dan lainnya ketika bepergian dibandingkan orang lain yang lebih tua dari usianya.

Tidak ada yang salah jika memiliki gadget canggih sebagai alternatif pengusir rasa bosan. Namun, saya rasa hal itu akan menjadi masalah ketika gaya hidup serba canggih itu sudah dilakukan sejak kanak-kanak. Saya pikir, mereka akan menjadi generasi yang cenderung manja karena orang tua yang selalu memenuhi tuntutan gadget canggih yang jadi keinginannya. 

Tak hanya itu, saya pun berpikir bahwa mereka akan cenderung jarang bersosialisasi, karena merasa tanpa orang lain, mereka bisa terhibur dan menghabiskan waktu, terutama mengusir rasa bosan. 

Saya ingat betul, seorang murid sekolah minggu saya pernah sampai harus ditegur beberapa kali karena terus menerus memainkan PSP miliknya selama kegiatan LDK. Tentu saja, sebelum akhirnya mendapat teguran keras, ia sudah diingatkan secara halus. Namun, sikap yang cuek dengan teguran kami, gurunya, akhirnya membuat anak ini harus merelakan PSP nya disita sementara waktu sampai jam tidur malam datang.

Tak pernah terbayangkan pada saya akan jadi apa seluruh permainan tradisional dan edukatif yang sudah jarang dimainkan oleh anak-anak dimasa ini. Jangankan memainkan, mengenalnya saja bahkan mungkin tidak. Padahal, seluruh permainan itu mengasyikkan. Disamping semakin akrab dengan teman, permainan semacam itu lebih mengasah kemampuan dan otak, dan tentu saja olah raga. 

Sekarang, pertanyaan muncul dalam diri saya. Apa yang bisa saya dan seluruh pemuda lainnya bisa lakukan untuk tetap melestarikan permainan anak-anak tersebut? Bukan bermaksud menggeser eksistensi gadget canggih, namun membuat anak-anak (minimal) mengenal permainan lapangan ataupun permainan tradisional lainnya. Saya pun jadi tergelitik untuk memulainya dari lingkungan kecil di sekitar saya. Harapan saya tentu saja, membuat keberadaan permainan tradisional ini tetap eksis dan tidak hilang oleh jaman.



Salahkah?

Ternyata jadi seorang JOMBLO itu beneran gak enak. Sangat tidak enak. Apalagi, menjadi seorang JOMBLO tanpa seorang pun pengagum. Rasanya dunia seperti runtuh. Aku  sama sekali tidak menikmati masa-masa ini. Aku ingin ini semua cepat berlalu. Aku sangat merindukan kehadiran seorang pria disampingku. Sangat.

Jujur saja, aku benar-benar IRI dengan teman-teman ku yang lain. Mereka punya pendamping ; entah itu pacar, tunangan, atau bahkan suami. Ya, beberapa orang di sekitarku yang dulu menjadi teman bermain ku, kini sudah menjadi istri orang. Banyak juga yang sudah memiliki pacar, bahkan menjadi jomblo dengan waktu yang hanpir sama dengan ku. Tapi, mereka akhirnya menemukan tambatan hatinya.

Sedangkan aku?
Menarik perhatian seorang cowok pun bahkan-aku pikir- tidak. Entah kenapa, aku merasa tidak percaya diri. Apalagi ketika aku berada disekitar mereka yang pintar secara akademik, pandai bergaul, atau cantik dan tampan. Aku merasa rendah diri dan berpikir bahwa I am nothing than those people :(

Well, aku selalu merasa ingin dikagumi, ingin dicintai, dan ingin disayangi. Salahkah keinginanku itu? Salahkah aku mendambakan sosok seorang cowok yang bisa dan mau mencintai ku sepenuh hati dan menerima ku apa adanya? Salahkah aku untuk berharap bisa menarik perhatian seorang cowok yang ada di sekitarku? Salahkah aku?

Aku terus berusaha untuk tetap bersabar. Ya, sabar. Kata itu selalu jadi jurus andalan mereka ketika memberi respon dari curahan hatiku. Bosan aku mendengarnya.

Some of them said, "jangan berharap terlalu tinggi pada seorang cowok. kalau gak kesampean, sakit rasanya". Well, aku berharap cowok yang aku suka juga bisa membalas rasa yang aku miliki. Tapi, aku sering ditolak. Bahkan, aku sudah tidak tahu berapa kali aku ditolak. Secara halus, maupun terang-terangan melalui sikap mereka yang mendadak cuek. Padahal, kalau aku pikir, aku tidak agresif sama sekali pada mereka. Aku berusaha memberikan perhatian sewajarnya. Aku berusaha untuk gak ke-GR-an, meskipun rasa itu seringkali datang.

Kini..
Setelah melihat foto-foto kebersamaan seorang temanku bersama kekasihnya, aku pun kembali merasa "down". Aku sedih, karena kegembiraan mereka di foto itu belum pernah aku rasakan. Aku ingin, sangat ingin seperti mereka. Tapi, kembali, aku harsu bersabar. Entah sampai kapan...

Selasa, 01 Mei 2012

Sapu Lidi

Sebuah persahabatan saya ibaratkan seperti sapu lidi. Bukan dari warna nya yang coklat tua nyaris hitam, atau dari fungsinya yang dipakai untuk menyapu halaman. Tapi, dari ikatan yang menyatukan antara satu lidi dengan lidi lainnya.

Saya memiliki sebuah persahabatan. Kami berjumlah 7 orang dan semua terbentuk ketika kami masih menjadi MaBa alias Mahasiswa Baru di tahun 2010. Tak ingat pasti kapan kami mulai sering bertemu dan kumpul bareng. Tapi, hari ke hari kami nikmati dengan penuh canda tawa.

Berbagi tangisan pun pernah bahkan sering kami lakukan saat ada salah satu diantara kami yang merasa sedih. Menjadi pendengar disaat salah seorang diantara kami butuh untuk didengarkan. Menjadi garam saat salah seorang diantara kami merasa hidupnya tawar. Dan, memberikan kejutan saat salah seorang dintara kami berulang tahun. Kado yang sederhana namun bermakna pun pernah saya terima disaat saya berulangtahun ke-20 di bulan Oktober kemarin.

Kami sahabat, bukan genk. Jadi, sejak kami mulai sering berkumpul, tak ada nama resmi yang melabel persahabatan kami. Sampai akhirnya, kami secara tidak sengaja menemukan nama yang cukup unik, yaitu Pargendt. Tak perlu tahu apa artinya. Karena, percayalah, bukan sebuah arti yang terdengar intelek. Namun, kami suka dengan nama itu dan arti dibaliknya.

Persahabatan seperti sapu lidi. Saya mengibaratkan sapu lidi pada persahabatan yang saya miliki. Kuat ketika kami bersama-sama. Namun, lemah disaat kami seorang diri. Bersatu kita menjadi utuh, namun bercerai kita menjadi rapuh. Sayangnya, kerapuhan itu sedang menyelimuti sapu lidi kami. Ikatan yang mengikat kami dengan kepribadian, keunikan, kelebihan, maupun kekurangan masing-masing, sedang kendur. Tidak lagi kuat seperti dulu.

Saya hanya berharap satu hal, yaitu sapu lidi ini jangan sampai lepas ikatannya yang akhirnya membuat semua lidinya tumpah berantakan. Ya, saya berharap badai yang sedang kami hadapi ini boleh kami lewati dengan penuh kesabaran. Saya mau persahabatan ini seperti sapu lidi yang kuat. Karena, tanpa kalian, saya bukan apa-apa..

Ingin Rasanya Membuang Predikat JOMBLO!

Baiklah, sebenarnya hal ini malas untuk gue tulis. Kenapa? Karena, dengan apa yang akan gue tulis ini, orang akan tahu bagaimana gue sebenarnya. Tapi, gue pikir, gue gak bisa terus-terusan faking-so-damn-good di depan semua orang. Berlagak tidak ada apa-apa, tapi kenyataannya, gue punya apa-apa yang membelit pikiran gue.

Well, it's such a "lebay" feeling, I guess. Tapi, jujur, GUE IRI! Gue iri sama sebuah hubungan dengan lawan jenis yang temen-temen gue miliki, sedangkan gue enggak, I mean belum untuk saat ini.

Gue iri sama seorang cewek yang ditaksir sama cowok yang gue suka. Gue iri sama sahabat gue yang bisa cepet dapet pacar. Gue iri sama siapapun yang bisa longlast sama pacarnya. Gue iri sama mereka yang mudah menarik perhatian lawan jenis meskipun hanya dalam pertemuan singkat. Gue iri sama seorang cewek yang ditungguin entah sampe kapan sama seorang cowok yang cinta mati sama dia. Gue iri. Gue iri. That's it!

Gue coba bersabar. Sangat bersabar. Sampai kadang gue coba untuk gak mempedulikan perubahan relationship status dari temen gue, - went from being "single to "in a relationship"- . Gue coba untuk pura-pura gak liat saat temen gue ada sama pacarnya, entah sekedar ngobrol atau kangen-kangenan. Gue iri, people. Gue bener-bener iri sama mereka yang punya seseorang di sampingnya ; ngehibur dalam keadaan susah , tertawa bersama dalam sukacita , dan ngasih perhatian dalam kondisi dan situasi apapun.

Tipe cowok gue pun sebenarnya gak muluk-muluk. Gue hanya butuh seorang cowok yang mau sayang sama gue apa adanya (itu emang abstrak dan gue yakin langka), nerima gue apa adanya, dan seiman! That's the point, seiman! Secara fisik, gue coba untuk gak mengkategorikan cowok berdasarkan fisik. Kenapa? Karena gue pun gak mau dikategorikan. Gue akan coba untuk terima dia apa adanya.

Usia gue sekarang udah kepala 2, dan tahun ini bakalan jadi 21. Gue masih ngejomblo dan jujur gue takut. Ketakutan gue emang abstrak banget. Gue takut jadi perawa tua. But, hey, it's a normal thing, right? Gue seorang perempuan dan wajar kalau gue takut jadi perawan tua lantaran gue sampai detik ini masih ngejomblo.

Gue merasa (sampai detik ini) gak ada satu pun cowok yang suka sama gue atau mencoba pdkt sama gue. Kenapa gue bisa bilang begitu? Ya, karena, gak ada tuh cowok yang sering sms gue buat coba pdkt atau ngasih perhatian lebih ke gue. No one! Dan gue pun jadi sering mengintimidasi diri gue sendiri. Gue mulai merasa jadi makhluk yang gak cantik secara fisik. Gue coba perbaiki diri dari "dalam", tapi, belum ada hasil juga.

Entah gue harus bersabar sampai kapan. Di luar gue emang terlihat senyum dan kadang ngasih "selamat" ke temen gue yang baru jadian. Gue juga bingung, ada apa gerangan sampai ditahun 2012 ini banyak teman ataupun kerabat gue yang baru aja jadian. Di dalam hati, gue mangkel, dongkol, pengen nangis, dan teriak sekencang mungkin.

Apa yang gue tulis, murni dari isi hati dan pikiran gue. Gue udah gak mau me-repress semua nya sampai tingkat unconscious gue. Gue gak mau jadi gila karena menahan semua emosi ini. Gue gak mau jadi orang munafik yang keliatannya aja tegar, tapi sebenarnya lemah. Ya, inilah gue.